Wednesday, August 24, 2011

akuntasi zakat


BAB I
PENDAHULUAN
                                               
A. Latar Belakang
Secara historis, pendapatan zakat merupakan unsur paling penting dari sistem pendapatan Islam. Ia meliputi zakat yang dipungut dari kekayaan kaum Muslim dan bea cukai yang dipungut dari para pedagang Muslim sesuai dengan barang dagangan yang melintasi pos-pos pabean.1 Salah satu tujuan zakat adalah untuk mendistribusikan harta agar tidak bertumpuk hanya di kalangan segelintir orang saja. Walaupun zakat berperan penting dalam kehidupan manusia, tetapi sumber zakat hanya dibatasi pada jenis harta tertentu yang telah disepakati oleh ulama, seperti emas, perak, unta, sapi, kambing, gandum, kurma, dan sebagainya. Namun, pelbagai usaha lain tidak dikenakan zakat sedangkan usaha ekonomi tersebut sangat dimungkinkan menghasilkan aset keuangan yang lebih berlimpah dibandingkan dengan harta yang telah ditetapkan sebagai aset wajib zakat.
Sehubungan dengan itu, sumber zakat patut dikembangkan dengan melihat semua kegiatan ekonomi yang bisa menambah atau memperbanyak kepemilikan harta. Dengan kata lain, semua harta yang produktif atau berpotensi produktif yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Ini bermakna bahwa zakat sepatutnya dikenakan pula pada asset-aset lainnya, misalnya pada profesi dan perusahaan. Bukankah profesi dan perusahaan sekarang ini menjadi aset harta yang cukup berlimpah bagi pemiliknya. Kalangan profesional maupun pengusaha dimaklumi memiliki aset harta yang cukup besar, sehingga bagi mereka amatlah wajar jika dikenakan kewajiban zakat dari profesi dan perusahaannya.
Namun demikian, profesi seseorang dan perusahaan sekarang ini terkena kewajiban zakat, hanya saja sebagaimana aset wajib zakat lainnya, proses pengumpulan, penghitungan, dan pendistribusian harta zakat belum dilakukan secara optimal. Hal ini salah satunya, karena belum adanya system akuntansi yang digunakan untuk zakat. Padahal, sejarah telah membuktikan betapa aset harta yang bersumber dari zakat ini dengan sistem akuntansi atau tata buku yang diterapkannya telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pengelolaan keuangan publik pada masa pemerintahan Islam di masa lalu, bukan hanya dimanfaatkan untuk membiayai roda pemerintahan. Justru lebih dari itu, zakat digunakan untuk social empowerment (pemberdayaan masyarakat) yang termarjinalkan dalam struktur sosial mereka.
Pada saat itu, zakat merupakan sumber keuangan publik Islam karena ia merupakan sumber terpenting pendapatan negara Islam. Ia menjadi dana pembebasan kemiskinan dan bentuk-bentuk keamanan sosial (social security) lainnya. Abu Ubayd mengatakan bahwa zakat merupakan hak bagi orang miskin yang ada dalam zakat merupakan hak bagi orang miskin yang ada dalam harta dan kekayaan orang kaya.2 Zakat diwajibkan atas kaum Muslim yang kaya pada tahun kedua Hijrah.3 Begitu pentingnya kewajiban itu sehingga al-Qur’an memerintahkan pada lebih dari tiga puluh kesempatan agar membayar zakat. Zakat memberikan suatu karakter unik dalam struktur sosio-ekonomi negara Islam, karena pembayarannya tidak hanya memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi menjadi kewajiban keagamaan dan menjadi sarana penyucian spiritual.4
Meninjau pentingnya zakat tersebut, maka zakat perlu dikelola dengan sistem manajemen yang baik, salah satunya berupa adanya akuntansi zakat. Pada satu sisi, pola-pola pencatatan zakat belum menerapkan sistem akuntansi modern, sebab sistem akuntansi syari’ah yang ada di Indonesia diperuntukkan bagi perbankan syari’ah. Hal ini pula yang menyebabkan anggapan keliru, bahwa akuntansi syari’ah identik dengan akuntansi perbankan syari’ah. Padahal akuntansi syari’ah secara epistemologis digunakan untuk setiap bentuk kategori akuntansi baik untuk zakat, perbankan syari’ah, perusahaan, dan sektor lainnya. Pada sisi lain, rumusan akuntansi syari’ah berupa metodologi, teori, dan perspektifnya masih diperdebatkan, karena sebagaimana “bayi” masih pada tahap perkembangan dan pembentukan untuk menjadi disiplin ilmu yang mandiri.
Pada sisi lain, zakat sebagai kewajiban agama mengalami perkembangan signifikan terutama terkait dengan kategori aset zakat yang hampir mencakup seluruh sektor ekonomi. Karena itu, pengembangan metode ijtihad dalam menetapkan aset-aset lain dari kategori harta zakat yang telah ada dengan pencatatan dalam akuntansi zakat, akan memberikan keadilan dalam pendistribusian harta kepada mereka yang berhak (mustahiq). Rumusan harta zakat sebagaimana ditulis fuqaha’ dalam hal ini belum mengcover seluruhnya terhadap sektor produktif atau berpotensi produktif yang mampu memberikan akumulasi harta secara signifikan. Nampak ada ketidakadilan, misalnya, ketika para pengusaha batu bara atau pemilik tambang emas tidak dikenakan zakat atau zakatnya hanya 2,5 %, sedangkan nelayan yang mencari ikan dengan biaya solar yang mahal juga dikenai zakat hasil laut sebesar 2,5 %. 
Beberapa kendala ini bertumpu pada persoalan terkait dengan perlunya akuntansi zakat dan pengembangan kategori harta zakat. Dalam sumber-sumber literatur yang ada, sejauh pengetahuan penulis, kajian akuntansi zakat sangat sedikit, sebab kajian ekonomi Islam lebih banyak difokuskan pada pengembangan perbankan syari’ah secara teoritis maupun praktis. Adapun terkait dengan studi akuntansi lebih terfokus pada akuntansi syari’ah dan akuntansi perbankan syari’ah. Kajian zakat sendiri lebih banyak dikaitkan dengan perekonomian modern, di samping modifikasi ulang persoalan zakat yang telah dirumuskan dalam karya-karya fiqih. Secara khusus, studi tentang akuntansi zakat belum memiliki sumber teks atau referensi yang memadai, padahal amat dibutuhkan oleh mahasiswa secara akademik.5
Beberapa studi tentang akuntansi Islam antara lain dilakukan oleh Husyain Syahatah. Tulisannya cukup representatif yang secara historis memaparkan sejarah dan pokok-pokok pikiran akuntansi Islam yang telah dipraktekkan pada masa kekhalifahan Islam.[6] Ia  pun menulis tentang akuntansi zakat yang cukup rinci disertai dengan kategori zakat dan contoh perhitungannya yang signifikan dengan wacana zakat kontemporer.[7]
Kajian akuntansi zakat dilakukan pula oleh Sofyan Safri Harahap yang memberikan pengantar tentang perumusan teori-teori akuntansi zakat. Ulasannya yang mengintrodusir teori-teori akuntansi dalam perhitungan zakat cukup representatif dalam pengembangan teori-teori akuntansi zakat.[8] 
Didin Hafiduddin mengungkap pula tentang eksistensi zakat dalam perekonomian modern. Ulasannya yang akurat dengan memposisikan peran zakat dalam kehidupan masyarakat modern memberikan cara pandang baru tentang pentingnya optimalisasi zakat bagi kesejahteraan masyarakat.[9] Secara praktis pula, ia melakukan studi tentang tata cara perhitungan zakat, infaq dan sadaqah secara praktis.[10]  
M. Arif Mufraini melakukan studi tentang akuntansi zakat yang dilengkapi dengan prinsip dan praktek manajemen zakat. Gagasannya cukup representatif dalam mengungkap persoalan-persoalan zakat, khususnya tentang bagaimana zakat sebagai kewajiban agama dapat dikelola secara administratif dan dapat dipertanggungjawabkan secara publik.[11]
Studi tentang akuntansi zakat dilakukan pula oleh Mursyidi. Penerapan metode akuntansi zakat kontemporer dalam tata kelola zakat memberikan perspektif dan praktek zakat yang cukup memadai. Penyajiannya yang lugas dan dilengkapi dengan contoh perhitungan dan penyelesaian zakat dapat menjadi rujukan dalam menetapkan aturan atau standar akuntansi zakat, sekaligus memudahkan muzakki yang akan menghitung zakatnya.[12]
Studi lain yang masih terkait dengan persoalan akuntansi zakat adalah karya Iwan Triyuwono. Meskipun fokus kajiannya terletak pada bagaimana membangun disiplin ilmu akuntansi syari’ah, namun ulasannya tentang perspektif, metodologi, dan teori akuntansi syari’ah dapat memberikan pengantar dan dasar-dasar epistemologis yang bermanfaat dalam pengembangan metodologi dan teori akuntansi zakat.[13]
Dari survey studi akuntansi zakat di atas, menunjukkan bahwa persoalan zakat terletak pada aspek pengelolaannya yang dimulai dari proses penghimpunan, pencatatan, dan pendistribusian harta zakat. Secara khusus, belum terstandarisasinya akuntansi zakat, misalnya dalam bentuk PSAK, menyebabkan pengelolaan zakat belum optimal, di samping keterbatasan sumber referensi yang secara teknis menguraikan tata cara penentuan dan penghitungan aset zakat dalam suatu sistem akuntansi. Oleh karena itu, penulisan buku daras ini sangat relevan untuk mengisi kekosongan referensi akuntansi zakat, di mana persoalan zakat kian berkembang dengan berbagai kategorinya.



B. Tema
Tema penulisan buku daras akuntansi zakat ini adalah “Akuntansi Zakat: Teori, Aplikasi dan Perhitungan Zakat Kontemporer”.
Berdasarkan tema tersebut di atas, maka penulisannya difokuskan pada konsep dasar, perkembangan, dan tujuan akuntansi zakat; kategori aset zakat, perhitungan, dan pengelolaannya menurut fuqaha’ dan perkembangannya dalam akuntansi modern; penerapan prinsip-prinsip akuntansi dalam penentuan dan perhitungan zakat; dan ketentuan, tata cara, dan contoh perhitungan zakat berdasarkan sistem akuntansi modern.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Penulisan buku daras Akuntansi Zakat ini secara praktis bertujuan sebagai ikhtiar agar pengelolaan zakat dapat diaplikasikan secara tertib dan administratif. Secara khusus, buku daras ini dikhususkan sebagai rujukan atau referensi bagi mahasiswa terutama yang sedang mengikuti dan mendalami studi Ekonomi Islam, baik di Jurusan Syari’ah maupun Jurusan Ekonomi. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menganalisis konsep, teori, perbedaan-perbedaan seputar zakat, mampu menerapkannya dalam pengembangan kategori harta zakat, dan menyelesaikan perhitungan zakat sesuai ketentuan dalam akuntansi (PSAK 109).
Adapun kegunaan penulisan buku daras ini, sebagaimana buku daras (text book) lainnya, adalah memberikan kelengkapan referensi bagi mahasiswa tentang penerapan dan tata cara perhitungan zakat berdasarkan rumusan fiqih dan standar akuntansi zakat.  Di samping itu, buku daras ini disinergikan dengan exposure draft PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah, diharapkan berguna sebagai kerangka acuan perhitungan zakat dengan penguasaan kompetensi dasar, yaitu mampu menyelesaikan perhitungan zakat dengan beragam kategorinya.
D. Penulisan Buku Daras Terdahulu
Zakat sebagai kewajiban agama memberikan kontribusi penting bagi masyarakat dan negara. Zakat menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal negara. Peran zakat telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. dan para penerusnya yang membuktikan bahwa zakat sebagai aset penting yang dikumpulkan melalui baitul mal dan dimanfaatkan bukan hanya untuk membiayai roda pemerintahan melainkan juga dapat menjamin sekuritas sosial. Saat itu, zakat didistribusikan untuk masyarakat yang berhak menerimanya (mustahiq), sehingga dapat membantu stabilitas ekonomi.[14] Oleh karena itu, proses yang paling penting dari keseluruhan sistem pengelolaan zakat adalah adanya pelaporan harta zakat yang dicatat dan dipetanggungjawabkan kepada publik melalui penerapan sistem akuntansi. Dengan kata lain, akuntansi zakat bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi zakat.[15]  
Akuntansi bisa dijadikan pedoman bagi penerapan pengelolaan zakat maupun peraturan-peraturan pendukungnya. Dalam hal ini, berbagai sumber akuntansi zakat sebenarnya hendak memberikan jawaban atas pertanyaan apakah akuntansi mampu berperan menjalankan tugas pengelolaan zakat. Akuntansi zakat akan memberikan informasi atau data yang bersifat umum (general purpose) yang dimodifikasi secara teknis-praktis sedemikian rupa guna dapat menghitung zakat yang notabene mengandung tujuan khusus (special purpose), seperti penyucian harta. Dalam hal ini, muzakki menjadi lebih mudah dalam mengetahui perhitungan fisik (stock opname) dari kewajiban zakat yang mesti dikeluarkan dari sebagian kepemilikan hartanya.
Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan studi tentang akuntansi zakat, maka akan dilakukan rujukan singkat tentang beberapa studi yang terkait dengan tema ini, bukan hanya bertujuan untuk mencari formula baru tentang akuntansi zakat, melainkan juga untuk menghindari terjadinya kesamaan (baca:plagiat) yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmiah.  
Beberapa karya klasik yang sebenarnya mengandung praktek akuntansi Islam, khususnya terkait dengan zakat, antara lain, pertama, karya yang berjudul al-kharaj, seperti Kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf (w. 798 M), Yahya Ibn Adam al-Qarasyi (w. 818 M), dan Qudamah ibn Ja’far (w. 932); kedua, kitab yang berjudul al-Amwal, seperti Kitab al-Amwal karya Abu Ubayd al-Qasim ibn Sallam (w. 838 M), Humaid Ibn Zanjawaih, dan Abu Ja’far ibn Nashir ad-Dawudi (w. 1012); ketiga karya yang bertitel al-Ahkam as-Sulthaniyah, seperti karya Abu Hasan Ali al-Mawardi (w. 1058 M) dan Abu Ya’la al-Hambali, dan keempat, karya-karya bunga rampai yang muncul pada paruh kedua abad ke-5 H, seperti Kitab al-Muhalla karya Muhammad Ibn Hazm, al-Ghiyatsi al-Juwaini karya Imam al-Haramain al-Juwaini, dan at-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk karya Imam al-Ghazali.
Karya-karya klasik tersebut cukup representatif secara normatif (hukum fiqh) dalam menguraikan ketentuan-ketentuan pokok tentang berbagai sumber pendapatan negara, salah satunya zakat, di samping ulasan historis tentang mekanisme dan pengelolaan zakat (sekarang dikenal dengan penerapan akuntansi zakat). Pemikiran dan praktek akuntansi zakat pada masa ini membuktikan bahwa kekhalifahan Islam memiliki kelengkapan dalam mengelola persoalan zakat dengan berbagai instrumennya. Namun, ulasannya belum memadai ketika dihadapkan pada persoalan modern tentang zakat dengan berbagai kategori asetnya yang belum diungkap dalam referensi tersebut. Di samping itu, standarisasi pengelolaan zakat (dalam lingkup nasional atau internasional) yang dilengkapi dengan sistem akuntansi yang memadai dengan mengedepankan pentingnya akuntabilitas kepada publik dirasakan sangat penting sekarang ini.
Untuk kajian kontemporer tentang akuntansi zakat dapat ditemukan pada karya Husein Syahatah, at-Tathbiq al-Mu’ashir li az-Zakat: Kaifa Tahsib Zakat Malik. Karya ini mengulas tentang panduan praktis penghitungan zakat kontemporer yang ditinjau baik dari pespektif fiqih maupun sistem akuntansi modern. Namun, ulasan dan aplikasi zakat yang disertai contoh perhitungan yang bernuansa “Arab”, kurang representatif bila diterapkan dalam konteks zakat di Indonesia.[16]
Studi akuntansi zakat dapat ditemukan pula pada karya Sofyan Safri Harahap, Menuju Perumusan Teori Akuntansi Zakat. Karya ini telah menunjukkan upaya dalam membuat rumusan-rumusan teori tentang akuntansi zakat. Namun, teori akuntansi yang diterapkan dalam masalah zakat belum memadai karena secara paradigmatis zakat memiliki perspektif dan metodologi tersendiri, terutama jika dikaitkan dengan normatifitas ajaran.[17] 
Didin Hafiduddin menyusun pula tata cara perhitungan zakat dalam karyanya, Panduan Praktis tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqah. Sebagai pedoman, buku ini bisa menjadi rujukan para pengelola zakat dalam menghitung harta zakat. Namun, sifatnya yang praktis, karyanya ini kurang dilengkapi dengan konsep dan rumusan fiqih serta teori akuntansi yang menjadi pijakannya.[18]  
Studi lainnya dilakukan pula oleh Arif Mufraini dalam “Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan”. Buku ini dapat mengantarkan pembaca untuk memahami penerapan prinsip-prinsip akuntansi dalam zakat, sekaligus cukup representatif dalam menjelaskan manajemen zakat. Namun, kurangnya aplikasi penerapan akuntansi zakat, khususnya contoh perhitungan aset zakat, maka buku ini lebih layak dikategorikan dalam bidang manajemen zakat.[19]
Mursyidi secara metodologis dalam “Akuntansi Zakat Kontemporer”, telah memaparkan metode akuntansi untuk menyelesaikan masalah zakat kontemporer. Karya ini cukup baik menjelaskan penerapan akuntansi dalam masalah zakat dilengkapi dengan contoh perhitungan dan penyelesaiannya. Namun, karya ini cukup kering dalam mengungkap normatifitas zakat berdasarkan rumusan-rumusan fiqih.[20]
Berbagai studi tersebut dapat menjelaskan tentang akuntansi zakat, baik secara teoritis maupun praktis. Namun, ulasannya yang lebih menekankan pada satu aspek, aplikasi akuntansi an-sich dalam masalah zakat dan kurangnya paparan fiqh zakat, menyebabkan ketidaklengkapan dalam penjelasannya.
Karena itu, hal-hal baru yang menjadi ciri khas buku daras ini adalah pengembangan fiqih zakat yang menjadi pijakan pada materinya dan penerapan sistem akuntansi yang terstandar berupa PSAK 109 dalam perhitungan zakat, sehingga menjadi pelengkap untuk menguraikan secara utuh materi akuntansi zakat. Hal inilah yang menjadi karakteristik sekaligus membedakan buku daras terdahulu dengan penulisan buku daras akuntansi zakat yang akan dilakukan.

E. Landasan Teori Buku Daras yang Ditulis
Dalam membahas materi akuntansi zakat tidak dapat dilepaskan dari teori-teori yang melandasinya, terutama terkait dengan dimensi filosofis zakat itu sendiri baik secara ontologi, epistemologi maupun aksiologinya. Hal ini penting pula agar penulisan buku daras yang akan dilakukan memiliki aspek pembeda dengan buku daras sebelumnya, terutama dikaitkan dengan persoalan makro zakat sebagai bagian dari keuangan publik dan secara mikro sebagai kewajiban agama yang bernilai ekonomi dan sosial.
Secara ontologis, zakat dapat memenuhi tujuan spiritual Muslim, di samping secara sosial al-Qur’an menjadikan zakat sebagai tanggung jawab seorang Muslim terhadap kelompok-kelompok lemah dalam masyarakat. Ayatnya menyatakan, “Dan dirikanlah shalat dan berikanlah orang yang miskin haknya (zakat) dan taatilah Rasul.”[21] Zakat juga memiliki kedudukan penting dalam struktur ekonomi-keagamaan dari mekanisme keuangan Islam. Nabi menyebutnya sebagai salah satu rukun Islam. Hadisnya berbunyi:“Islam ditegakkan di atas lima hal, kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan-Nya, ditegakkannya shalat, pembayaran zakat, pelaksanaan haji dan puasa pada bulan Ramadhan.”[22]
Zakat mendapat banyak perhatian dari hadis-hadis Nabi dibanding sumber-sumber pendapatan lainnya yang ada bagi negara Islam. Ruang lingkup zakat, benda-benda yang wajib dizakati, batas, ukuran dan jumlahnya, serta perincian penting lainnya tentang pengumpulan dan pembagiannya ditemukan dalam semua literatur penting hadis. Para fuqaha’ dan ahli keuangan pada masa awal Islam dan peneliti modern telah mengkaji berbagai aspek sosio-ekonomi zakat.[23]
Secara epistemologis, zakat dikelola oleh negara dengan penerapan metode-metode dalam keuangan publik. Dalam hal ini, zakat sebagai pembayaran tahunan diwajibkan bagi kaum Muslim yang kaya atas kekayaan mereka. Ia ditetapkan atas bentuk-bentuk kekayaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang dari sisi nilainya (emas, perak) atau dapat menghasilkan kekayaan lebih lanjut, seperti ternak, produksi pertanian dan barang-barang dagangan.[24] Karena itu, pemilikan potensi untuk berkembang (produktif) merupakan persyaratan pertama penetapan zakat. Syarat kedua ditetapkannya zakat adalah bahwa ia ditetapkan pada kekayaan yang dimiliki selama setahun penuh. Namun, dalam kasus hasil pertanian, ia ditetapkan setiap musim panen.[25]
Persyaratan ketiga adalah aset-aset dapat dikenai zakat hanya jika mereka melampaui nilai minimum tertentu yang disebut nishab, yang bervariasi bagi setiap bendanya (perinciannya akan dibahas kemudian). Persyaratan penting ini menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang memiliki kemampuan membayar dan memiliki harta di luar kebutuhan mereka selama satu tahun yang dikenai keharusan membayar zakat. Karena itu, zakat merupakan hak tetap kaum miskin yang ada pada kekayaan orang kaya dan makmur.
Oleh karena itu, zakat dibayarkan sebagai bentuk kewajiban Muslim yang memiliki nilai surplus pada hartanya. Dalam hal ini, interpretasi zakat secara lebih luas adalah zakat lebih berperan secara sosial untuk mengentaskan kemiskinan atau memberdayakan masyarakat miskin atau dimiskinkan oleh struktur sosial. Dengan kata lain, zakat harus bisa disosialisasikan sebagai sistem nilai yang seterusnya dapat terintenalisasi dalam diri pembayar zakat menjadi seseorang yang peduli dan berpihak kepada yang lemah.
Dalam konteks pengelolaan zakat, maka zakat dapat dijadikan tolok ukur kesejahteraaan masyarakat, baik jumlah yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat. Berbeda dengan tolok ukur lain yang cenderung bias. Karena itu, tolak ukur zakat sebagai pengatur kesejahteraan benar-benar bisa dijadikan pedoman standar, baik mikro maupun makro.
Jika demikian, untuk menjamin pengelolaan zakat yang benar maka diperlukan adanya sistem yang bekerja, yaitu akuntansi zakat.[26] Akuntansi ini dibangun dengan paradigma syari’ah,[27] yang memasukkan konsep pertanggungjawaban dalam bidang akuntansi, yaitu dengan paradigma antropologi/deduktif. Paradigma ini akan menggunakan dasar penilaian tunggal dalam menentukan pendapatan (the true-income/deductive paradigm), dan pentingnya akuntan keuangan sebagai pihak yang memberikan layanan kelengkapan informasi keuangan. Jadi, paradigma syari’ah nampaknya menekankan antara the extreme holistic-atomistic dan dimensi radikal-deskriptif.[28]
Adapun secara aksiologis, paradigma syari’ah dalam akuntansi zakat akan mempertimbangan berbagai paradigma dengan menunjukkan adanya perbedaan ideologi akuntansi,[29] sehingga tiga dimensi yang saling berhubungan dan diaplikasikan sebagai ibadah adalah: (1) mencari keridhaan Allah sebagai tujuan utama dalam menentukan keadilan sosio-ekonomi melalui zakat; (2) merealisasikan keuntungan bagi masyarakat, yaitu dengan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, dan (3) mengejar kepentingan-pribadi, yaitu memenuhi kebutuhan sendiri secara religius dan sosial untuk mau berzakat.
Dengan demikian, paradigma syari’ah akan melahirkan ringkasan postulat dan prinsip akuntansi syari’ah yang diaplikasikan dalam zakat sesuai pengukuran dan penyingkapannya, yaitu: (1) penilaian bagian-bagian yang dizakati diukur secara pasar, dibayarkan kepada delapan asnaf sebagaimana yang dianjurkan oleh al-Qur’an atau disalurkan melalui baitul mal (lembaga zakat), (2) zakat dan pajak tidak akan diperlakukan sebagai beban, tetapi suatu bentuk ibadah yang tujuannya untuk mencapai distribusi kekayaan dalam rangka untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi, (3) diperlukan akuntan zakat yang sesuai dan menggunakan beban dan ukuran yang benar, dan (4) diperlukan kehati-hatian dalam menghitung zakat dan mengeluarkan jumlah yang lebih besar dibanding kurang.

F. Metode Penulisan
Penulisan buku daras akuntansi zakat ini menggunakan tiga metode yang lazim digunakan dalam studi akuntansi Islam, yaitu metode istinbath (eduksi), metode tahlili (analitis) dan metode tathbiqi (aplikasi).[30] Ketiga metode ini digunakan untuk mengungkap norma-norma dan ketentuan zakat, kategori dan indikator aset zakat, serta aplikasi zakat dalam konteks kekinian.
Metode lain yang digunakan adalah metode current cash equivalent.[31] Metode ini menyatakan bahwa aset perusahaan akan dievaluasi menurut “the cash or generalized purchasing power that could be obtained by selling each asset under conditions of orderly liquidation, which may be measured by quoted market prices for goods of a similar kind and condition[32]. Metode ini menolak harga pada masa lalu,  sebab ia tidak relevan untuk kegiatan (actions) masa yang akan datang. Pada saat yang sama kejadian tersebut tidak dapat diterima sebagai dasar yang valid  untuk cash-flows di masa yang akan datang, sebab data-datanya sangat subyektif. Walaupun metode ini mencoba menentukan current cash equivalent dalam pasar kontemporer.[33]
Agar penulisan buku daras ini sesuai dengan silabus atau materi yang disajikan komprehensif, maka penulis akan menghimpun data berdasarkan sumber-sumber yang relevan, sehingga data atau bahan penulisannya dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Sumber primer, yaitu referensi yang menjadi rujukan utama dalam membahas fokus penulisan, khususnya tentang materi akuntansi zakat.
2.      Sumber sekunder, yaitu referensi pendukung yang dapat menafsirkan atau menjelaskan materi akuntansi zakat yang tidak ditemukan pada sumber primer, seperti materi akuntansi dan fiqh zakat.
Untuk memudahkan penulisan, maka pengumpulan data berupa materi akuntansi zakat dilakukan melalui tahap orientasi, eksplorasi, dan interpretasi. Tahap orientasi untuk mengumpulkan materi secara umum tentang berbagai jenis harta yang masuk kategori zakat. Tahap eksplorasi untuk menyeleksi materi yang relevan dengan fokus penulisan. Adapun tahap interpretasi untuk menafsirkan dan mengembangkan materi yang sudah diverivikasi.[34]   
Adapun teknik penulisan buku daras ini dalam bentuk studi dokumentasi dengan langkah-langkah: (1) penela’ahan naskah atau buku yang membahas fokus masalah, (2) menghimpun materi yang dapat menjelaskan materi penulisan, dan (3) menyeleksi materi yang relevan dengan fokus penulisan.
Untuk melengkapi pembahasan dan analisis materi pada buku daras ini, maka penulis menggunakan teknik interpretatif berupa penafsiran bahan yang terhimpun dan relevan dengan cara menyusun dan membuat kategori harta zakat, mengembangkan materi, membuat contoh perhitungan zakat, dan tata cara penyelesaiannya.

G. Sistematika Penulisan
Penulisan buku daras yang bertemakan “Akuntansi Zakat: Teori, Aplikasi dan Perhitungan Zakat Kontemporer” disusun dengan sistematika yang terdiri dari 6 bagian. Bagian pertama tentang pendahuluan merupakan pengantar yang akan menguraikan latar belakang, tema, tujuan dan kegunaan penulisan, penulisan buku daras terdahulu, landasan teori buku daras yang ditulis, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bagian kedua mengulas tentang ruang lingkup akuntansi zakat. Pada bagian ini akan dibahas definisi akuntansi zakat, tujuan zakat dan penerapan prinsip-prinsip akuntansi, landasan dan prinsip filosofis akuntansi zakat, dan metode studi akuntansi zakat.
Bagian ketiga menguraikan penerapan prinsip-prinsip akuntansi dalam penentuan dan perhitungan zakat.  Bagian ini akan menguraikan pula tentang syari’ah sebagai paradigma alternatif akuntansi, akuntansi syari’ah sebagai dasar pengembangan akuntansi zakat, prinsip-prinsip penentuan dan perhitungan zakat, dan penerapan prinsip-prinsip akuntansi dalam menentukan dan menghitung aset wajib zakat.
Bagian keempat akan membahas tentang ketentuan umum menghitung kewajiban zakat mal. Bagian ini akan menguraikan secara ringkas tentang ketentuan umum, langkah-langkah penghitungan zakat, perangkat-perangkat perhitungan zakat, dan tabel aset wajib zakat, nishab, dan prosentase zakat.
Bagian kelima akan menguraikan secara rinci tentang kategori dan perhitungan zakat kontemporer. Bagian ini diklasifikasikan menjadi 9 (sembilan) jenis aset zakat dan contoh perhitungannya, yaitu zakat aset keuangan, zakat komoditas perdagangan, zakat industri, zakat aktivitas konstruksi bangunan dan investasi real estate, zakat  aktivitas dan investasi pertanian, zakat binatang ternak dan proyek-proyek peternakan, zakat rikaz, barang tambang dan hasil laut, dan zakat profesi.
Bagian kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan pembahasan dari bab-bab sebelumnya.
































1 Abu Ubayd, Kitab al-Amwal, Beirut: Dar al-Kutub, 1986, hlm. 23.
2 Ibid., hlm. 459
3 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1984), vol. 1, hlm. 61
4 QS. Yunus, 10:103, artinya:”Ambillah dari harta mereka shadaqah agar dapat menyucikan dan membersihkan mereka.”.
5 Terkait dengan standar akuntansi zakat, sampai sekarang baru diterbitkan Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (ED PSAK) 109: Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah pada tanggal 26 Pebruari 2008 oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), yang diharapkan paling lambat tanggal 7 Mei 2008 telah diterima tanggapan atas draft  ini baik oleh kalangan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), Dewan Konsultatif SAK, Dewan Pengurus Nasional IAI, perguruan tinggi, dan individu/organisasi/lembaga lain yang berminat. Adanya penyusunan PSAK ini diperlukan untuk mendukung transaksi pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat yang semakin kompleks. Secara lengkap dapat dibaca Ikatan Akuntansi Indonesia, Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan: Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan-ED PSAK No. 109, 26 Pebruari 2008, atau melalui homepage: www.iaiglobal.or.id.  
[6] Husein Syahatah, Ushul al-Fikri al-Muhasabi al-Islami, Penerjemah: Husnul Fatarib, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001 (selanjutnya disebut Pokok-pokok Pikiran).
[7] Husein Syahatah, at-Tathbiq al-Mu’ashir li az-Zakat: Kaifa Tahsib Zakat Malik, Penerjemah: A. Syakur, Akuntansi Zakat: Panduan Praktis Penghitungan Zakat Kontemporer, Jakarta: Penerbit Pustaka Progressif, 2004 (selanjutnya disebut Akuntansi Zakat).
[8] Sofyan Safri Harahap, Menuju Perumusan Teori Akuntansi Zakat, Jakarta: Pustaka Quantum, 2001.
[9] Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002 (selanjutnya disebut Zakat).
[10]  Didin Hafiduddin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqah, Jakarta: Gema Insani Press, 2002 (selanjutnya disebut Panduan Praktis).
[11] M. Arif Mufraini,  Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
[12] Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.  
[13] Iwan Triyuwono, Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syari’ah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
[14] Beberapa sumber klasik yang dapat mengakses peran zakat sebagai instrumen kebijakan fiskal negara, sekaligus referensi utama tentang praktek akuntansi Islam, antara lain Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979, Abu Ubayd, Kitab al-Amwal, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1986, Abu Ya’la al-Hambali, Al-Ahkam al-Shulthaniyah, Kairo: Mathba’ah Muhstafa, 1966, Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Shulthaniyah wa Wilayat ad-Diniyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Adapun sumber kontemporer antara lain Shemesh, Ben, Taxation in Islam, Leiden: E.J. Brill, 1965, Siddiqui, S.A., Public Finance in Islam, Lahore: Sh. Muh. Ashraf, 1965, Sabahuddin Azmi, Islamic Economic: Public Finance in Early Islamic Thought, (Penerjemah: Widyawati), Menimbang Ekonomi Islam: Keuangan Publik, Konsep Perpajakan dan Peran Baitul Mal, Bandung: Nuansa, 2005, Nuruddin Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, Ghazi Inayah, Al-Iqtishad al-Islam az-Zakah wa adh-Dharibah (Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, dan Mahmud al-Ba’ly, Iqtishadiyat az-Zakat wa I’tibarat as-Siyasah al-Maliyah wa an-Naqdiyah, (Penerjemah: MA. Abdullah Karim), Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syari’ah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.    
[15] Lebih lanjut baca IAI, op.cit., hlm. 3-5.
[16] Husein Syahatah, at-Tathbiq al-Mu’ashir li az-Zakat: Kaifa Tahsib Zakat Malik, Penerjemah: A. Syakur, Akuntansi Zakat: Panduan Praktis Penghitungan Zakat Kontemporer, Jakarta: Penerbit Pustaka Progressif, 2004 (selanjutnya disebut Akuntansi Zakat).
[17] Sofyan Safri Harahap, Menuju Perumusan Teori Akuntansi Zakat, Jakarta: Pustaka Quantum, 2001.
[18]  Didin Hafiduddin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqah, Jakarta: Gema Insani Press, 2002 (selanjutnya disebut Panduan Praktis).
[19] M. Arif Mufraini,  Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
[20] Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.  
[21] Qs. al-Baqarah (2): 110
[22] Imam al-Bukhari, Shalih al-Bukhari,  Beirut: Dar al-Fikr, t.t., vol. 1, hlm. 6
[23] Secara lengkap dapat dilihat Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah: A Comparative Study of Zakah, Regulations and Philosophy in the Light of Qur’an and Sunnah, Jeddah: King Abdul Aziz University, 2005, 2 volume; F.R. Faridi, “Zakat and Fiscal Policy” dalam Khurshid Ahmad (ed.), Studies ini Islamic Economic, Leicester: The Islamic Foundation, 1980, hlm. 119-130, dan M.M. Metwally, “Fiscal Policy in an Islamic Economy, “ dalam Ziauddin Ahmad, et.al. (eds.), Fiscal Policy and Resource Allocation in Islam, Islamabad: Institute of Policy Studies, 1983, hlm. 59-81.
[24] Al-Mawardi, op.cit., hlm. 113
[25] Ibid., hlm. 118-19
[26] Akuntansi zakat dapat didefinisikan sebagai bingkai pemikiran dan aktivitas yang mencakup dasar-dasar akuntansi dan proses-proses operasional yang berhubungan dengan penentuan, penghitungan dan penilaian harta dan pendapatan yang wajib dizakati, menetapkan kadar zakat dan pendistribusian hasil kepada pos-posnya sesuai dengan hukum dan dasar-dasar syari’at Islam. Dengan kata lain, akuntansi zakat adalah proses pembukuan aset-aset wajib zakat melalui pencatatan, pendataan, pendistribusian, dan pengelolaan  harta zakat yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk memahami asal-usul dan definisi akuntansi Islam berdasarkan kata “muhasabah” dan padanannya lihat Husayn Syahatah, Pokok-pokok Pikiran, op.cit., hlm. 29-44.
[27] Akuntansi yang berkembang sekarang ini berdasarkan filsafat rasionalisme yang kontradiktif menurut pandangan Islam, yaitu: (1) akuntansi konvensional didasari oleh penolakan agama dan metafisika serta menempatkan negara sebagai kekuatan yang berkuasa. Islam menilai segala aktivitas bermuatan ibadah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT; (2) kepercayaan dan nilai dasar akuntansi konvensional yang mengarusutamakan konsep kepentingan-pribadi tanpa mempedulikan kepentingan social; dan (3) akuntansi konvensional mempercayai bahwa manusia tidak memiliki konsepsi inheren mengenai keadilan tetapi manusia memiliki sifat pengambil peluang. Ketiga pandangan ini dapat membawa manusia sebagai homo economicus, padahal menurut Islam, manusia juga sebagai homo ethicus  dan homo religius.   
[28] The holistic-atomistic adalah upaya untuk memahami masyarakat dari atas-ke bawah dan dari bawah ke atas, sementara radikal-deskriptif adalah memahami isi yang ada dalam masyarakat hanya dengan melakukan deskripsi.
[29] Paling tidak, ada peran yang hendak dilakukan akuntansi, yaitu untuk pengambilan keputusan, informasi ekonomi, dan pelaporan pendapatan secara benar.
[30] Metode istinbath (eduksi) adalah metode yang dilakukan dengan cara menyimpulkan dari sumber-sumber hukum Islam terkait dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar akuntansi serta operasionalisasinya, yaitu al-Qur’an, sunnah, hasil ijtihad (fiqh), praktek akuntansi masa kekhalifahan Islam, dan kebiasaan praktek akuntansi masyarakat. Metode tahlili (analitis) adalah membandingkan kaidah-kaidah dan dasar-dasar akuntansi Islam dengan teori-teori akuntansi untuk menemukan persamaan dan perbedaannya. Adapun metode tathbiqi (aplikasi) adalah membahas segi-segi implementasi terhadap dasar-dasar dan kaidah-kaidah akuntansi Islam pada setiap sektor ekonomi yang termasuk kategori aset kewajiban zakat. Husyain Syahatah, Pokok-pokok Pikiran, op.cit., hlm. 13-14.
[31] Dalam pandangan T. Gambling dan R.A.A. Karim, metode penilaian yang diajukan oleh R.J. Chambers ini yang sangat tepat untuk menilai aset dalam kerangka Islam. Lebih lanjut baca R.J. Chambers, Accounting, Evaluation and Economic Behaviour, Englewood Cliffs. N.J. : Prentice-Hall, 1966 dan T. Gambling & R.A.A. Karim, Business and Accounting Ethics in Islam, London: Mansell, 1991, hlm. 9. 
[32] Eldon S. Hendriksen, Accounting Theory, Homewood-Ilinois: Richard D. Irwin, 1990, hlm. 262.
[33] Chambers berpandangan bahwa kemungkinan untuk menentukan nilai pasar untuk jenis-jenis aset. Tetapi, jika tidak mungkin dilakukan, maka aset akan valueless dan tidak akan muncul dalam laporan keuangan. Metode ini memiliki beberapa perbedaan dengan metode-metode yang lain dalam penilaian, yaitu: (1) melukiskan situasi kehidupan nyata bagi akuntan. Nilai neraca yang ditutup adalah sama dengan neraca yang terjadi saat ini, (2) meminimkan unsur subyektif dalam penilaian asset, (3) membenarkan konsep teori proprietary dan konsep Islam dalam perhitungan zakat, (4) menekankan posisi kekayaan yang dinilai daripada penerimaan dan biaya, (5) menentukan laba dengan menilai aset dan kewajiban dan tidak hanya me-match-kan penerimaan dengan biaya, yang melibatkan asumsi-asumsi subyektif mengenai alokasi biaya dan rekognisi penerimaan.
[34] Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1988, hlm. 33

No comments:

Post a Comment